WNI ditahan dan diadili di Filipina
Keluarga WNI yang Ditangkap di Manila Minta Pemerintah Lebih Pro Aktif
Nuraini juga berharap agar Duta Besar Filipina untuk Indonesia untuk segera menyampaikan kepada pemerintahnya agar segera membebaskan adik kandungnya dan kedua rekannya yang ditangkap polisi Filipina di Bandara Ninoy Aquino, Rabu (13/3) malam lalu. Sebab, ketiga orang itu terbukti tidak melakukan hal yang disangkakan pihak Kepolisian Nasional Filipina (PNP).
Nuraini menambahkan, dirinya bersama Novianti Intan Jauhari isteri Abdul Jamal Balfas, telah bertemu dengan pengusaha Thailand yang menjadi pencetus perjalanan bisnis tersebut, Dr. Prasan. Mereka berdua bertemu selama kurang lebih 30 menit di Hotel Atlet Century Park. "Dr. Prasan bersaksi ketiga rekannya ini bersih. Anda harus percaya bahwa saudara kamu bersih, tidak ada apa-apa," jelas Nuraini mengutip pernyataan Dr. Prasan yang juga anggota keluarga kerajaan Thailand.
Nuaini menjelaskan, berdasarkan cerita Dr. Prasan, setelah tiba di Bangkok melalui penerbangan Thai Air, ketiga WNI tersebut melanjutkan perjalanan ke Manila dengan menggunakan pesawat Lufthabsa bersama Dr. Prasan dan dua orang ahli tambang. Setelah tiba di Manila pada tanggal 11 Maret, keenam orang itu lansung melanjutkan perjalanan ke kota General Santos yang merupakan daerah pertambangan batubara yang berada di pulau Mindanao, Filipina Selatan.
Di Filipna, mereka ditemani pleh enam orang warga Filipina lainnya yang juga merupakan insinyur pertambangan. Saat ini, lanjut Nuraini, Agus Dwikarna, Tamsil Linrung, dan Abdul Jamal Balfas telah menunjuk seorang pengacara Filipina bernama J.N. Moreno. Ditambahkannya, biaya pengacara sebesar US$ 5,000 dibayar oleh Dr. Prasan.
Pengacara itulah nantinya yang akan mengupayakan pembebasan bersyarat dengan membayar jaminan sebesar 200 ribu Peso atau setara Rp 40 juta setiap orangnya. Rencananya pada tanggal 3 April mendatang akan diadakan pra-pengadilan untuk menilai keabsahan pengaduan polisi. A.M. Fatwa sendiri menyatakan, pihak pemerintah memberi perhatian serius terhadap kasus penangkapan tiga warga Indonesia ini.
Ia juga menyatakan, Kepolisan Republik Indonesia (Polri) juga telah mengirimkan pejabatnya ke Manila, guna menyelidiki lebih lanjut mengenai hal ini. "Perhatiannya (pemerintah) nampaknya cukup besar. Pemerintah melalui Menteri Luar Negeri (Hassan Wirajuda) memberikan jaminan akan memberikan perlindungan terbaik," ujarnya.
Dikatakan, Kepala Polri Jenderal Da'I Bachtiar akan betul-betul mengurus masalah ini berdasarkan prinsip-prinsip tugas kepolisian dan juga dalam rangka membela hak-hak dasar WNI yang ditangkap tersebut. Ia menerangkan, dirinya bersama Ketua Komisi I DPR Ibrahim Ambong, telah mengadakan pertemuan dengan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Purnawirawan Hendropriyono.
Menurut Kepala BIN, ketiga warga Indonesia itu bebas dari hal-hal yang terkait dengan terorisme. Hal senada juga diungkapkan Ketua Komisi I DPR RI Ibrahim Ambong. Menurutnya adanya kecenderungan penangkapan terhadap warga Indonesia di luar negeri dengan tuduhan yang tidak berdasar, menjadi tanda tanya.
"Seolah-olah ada kecenderung untuk menunjukkan memang di sini (Indonesia) sarang teruris," tandasnya. Dalam pertemuan dengan A.M. Fatwa itu hadir kakak kandung Abdul Jamal Balfas, Nuraini Balfas, isteri Andul Jamal Balfas, Novianti Intan Johari, dan isteri dari Tamsil Linrung, Fatimah Zammy. Mereka mengadakan pertemuan di rung kerja Fatwa selama kurang lebih satu jam.(Faisal-Tempo News Room)
https://m.tempo.co/read/news/2002/03/22/0555682/keluarga-wni-yang-ditangkap-di-manila-minta-pemerintah-lebih-pro-aktif
Selanjutnya:
Agus Dwikarna Divonis 10-17 Tahun Penjara Agus Dwikarna (kanan) mendengarkan petugas pengadilan Filipina membacakan vonis untuk dirinya. (Foto:Suara Merdeka
Pengadilan Pasay Regional Trial Filipina kemarin memvonis Agus Dwikarna, warga Indonesia yang diyakini terkait dengan jaringan Al Qaedah pimpinan Usamah bin Ladin, dengan hukuman penjara minimum 10 tahun dan maksimum 17 tahun. Pengadilan tersebut menghukum Agus, yang ditangkap di bandara Manila Maret lalu, dengan dakwaan memiliki bahan peledak.
Agus merupakan warga Indonesia kedua yang dikaitkan dengan Al Qaedah dan dipenjara di Filipina. April lalu, Fathur Rohman al-Ghozi dijatuhi hukuman penjara lebih dari 12 tahun karena memiliki bahan peledak. Dia juga dituduh ikut merencanakan sejumlah pengeboman di Singapura.
Selain hukuman itu, Ghozi juga dijatuhi hukuman penjara empat sampai enam tahun untuk tiap satu dari dua kasus pemalsuan dokumen. Pemalsuan itu dilakukan agar dia dapat memperoleh paspor Filipina.
Namun para pejabat pengadilan mengatakan Ghozi dapat menjalani dua hukuman kasus pemalsuan dokumen itu secara bersamaan. Polisi mendakwa Ghozi memiliki satu ton bahan peledak saat ditangkap awal tahun ini.
Agus Dwikarna ditangkap polisi di Bandara Internasional Manila pada 13 Maret lalu bersama dua warga Indonesia lainnya, Abdul Jamal Balfas dan Tamsil Linrung.
Mereka kedapatan memiliki dua bahan peledak C-4 dan lima buah kawat detenator.
Pengusutan terhadap Balfas dan Linrung dihentikan oleh pengadilan karena kurangnya bukti dan mereka dibebaskan dari tahanan.
Sementara itu, istri Agus Dwikarna, Ny Suryani, langsung mengurung diri di kamar tidurnya begitu menerima berita vonis hukuman penjara 10 tahun lebih terhadap suaminya oleh Pengadilan Negeri Filipina, hari Kamis.
Ny Suryani hari Kamis tidak sempat diwawancarai di rumah kediamannya Jalan Letjen Hertasning Makassar, namun dari pihak anggota keluarganya diterima keterangan bahwa berita tentang vonis terhadap Agus Dwikarna, diterima dari Tamsil langsung dari Manila Filipina sekitar pukul 10.00 waktu setempat.
Keluarga Ny Suryani, Drs H Asrullah, anggota DPRD Kota Makassar dari FKKI, saat diminta komentarnya mengatakan, segenap keluarga Agus terutama istrinya, merasakan hukuman yang dijatuhkan pengadilan Filipina itu kepada Agus Dwikarna tidak setimpal dengan perbuatan yang dituduhkan, yaitu menyimpan bahan peledak dan melanggar ketentuan keimigrasian Filipina.
Hukuman itu lebih bersifat dan mengandung nuansa politis daripada sisi hukumnya, kata Asrullah. Karena itu, menurut Asrullah, Pemerintah seyogianya memberikan perhatian yang besar mengupayakan agar hukuman itu dapat diperingan oleh Pemerintah Filipina.
Menjawab pertanyaan apakah isteri Agus merencanakan untuk pergi ke Filipina, Asrullah mengatakan, semestinya pihak Pemerintah dapat mengambil sikap memfasilitasi keberangkatan keluarga Agus ke Filipina.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI AM Fatwa kepada wartawan di ruang kerjanya di gedung DPR/MPR, kemarin menyatakan, vonis 10 tahun yang dijatuhkan pengadilan Filipina kepada Agus Dwikarna, antara lain disebabkan minimnya saksi yang meringankan pria asal Sulsel tersebut.
"Vonis ini karena kita kekurangan saksi. Yakni hanya ada satu saksi, Tamsil Linrung. Sedangkan Abdul Jamal Balfas, dan empat orang dari Thailand yang menemani Tamsil ke Filipina ternyata tidak bisa hadir," kata Fatwa.
Menurutnya, walaupun saksi Tamsil Linrung telah berupaya sedemikian rupa untuk meringankan terdakwa Agus, kesaksian yang hanya seorang diri tersebut dalam sistem hukum mana pun agak sulit untuk meringankan tuduhan mereka.
Fatwa menilai bahwa Agus seharusnya bebas. Karena penangkapan Agus ini lebih berupa perkara politik yang diambil dari data-data intelijen yang bermacam-macam. Dan ada kemungkinan terjadi rekayasa di dalamnya untuk kepentingan tertentu.
"Seharusnya, kalau memang Agus Dwikarna itu ada gejala-gejala sebagai teroris, aparat keamanan di Sulsel sudah menangkapnya. Kenapa mesti orang di Filipina," katanya.(rtr,ms,F4-16)