Cuplikan pendapat "Tidak Ada Dasar Presiden Berhentikan Sementara Gubernur Ahok"
Oleh : Yu Un Oppusunggu
Catatan kecil ini menjawab apakah wacana pelengseran sementara Ahok berdasar hukum atau tidak. Meskipun penulis telah sejak awal secara terbuka menyatakan pilihan politiknya, dan sekarang kita memasuki masa tenang, namun ulasan ini adalah murni ulasan hukum. Tidak ada unsur politis, hanya ulasan dari segi ilmu hukum dan cara berpikir yuridis yang becus.
Di penghujung masa tenang kampanye Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta, muncul wacana agar Presiden Joko Widodo memberhentikan sementara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Wacana ini digulirkan oleh Mahfud MD, seorang guru besar hukum tata negara yang pernah menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi. "Menurut Undang-undang, Pasal 83 ayat 1 jelas seorang kepala daerah yang menjadi terdakwa itu diberhentikan sementara. Nggak ada pasal lain yang bisa menafikan itu," kata Mahfud MD di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (9/2/2017). (https://news.detik.com/berita/d-341...) Jika Presiden tidak mencopot Ahok untuk sementara waktu, maka Presiden harus mengeluarkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu). (https://news.detik.com/berita/d-341...)
Pendapat hukum Mahfud MD mendapat reaksi dingin dari Kementerian Dalam Negeri. Apakah Ahok akan diberhentikan sementara atau tidak, Kementerian Dalam Negeri masih menunggu lama tuntutan dari pihak Jaksa. (http://www.republika.co.id/berita/n...) Reaksi tersebut membuat Mahfud MD berat otak. "Karena UU-nya jelas bunyinya, bukan tuntutan seperti dikatakan Mendagri. Mendagri katakan menunggu tuntutan. Lho di situ terdakwa, berarti dakwaan. Jadi tidak ada instrumen hukum lain," ujarnya. (http://nasional.republika.co.id/ber...)
Baiknya saya kutip pasal 83 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Mengapa “paling singkat 5 (lima) tahun” tidak ada dalam pemberitaan? Tidak jelas, apakah Mahfud MD yang alpa atau media tidak cermat mengutipnya. Yang jelas saat ini Ahok sedang menjadi pesakitan karena dakwaan penistaan agama. Jaksa penuntut umum membawa ia ke meja hijau karena penodaan agama secara alternatif berdasarkan pasal 156a atau pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Artinya, jika majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak melihat keberhasilan JPU membuktikan kesalahan Ahok berdasarkan pasal pertama, maka pasal kedua mungkin masih bisa menjeratnya.
Berikut bunyi kedua pasal tersebut:
Pasal 156a KUHP: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bcrsifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Pasal 156 KUHP: “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.”
Sebenarnya Kemendagri tidak perlu menunggu tuntutan JPU, karena tuntutan pidana penjara terhadap Ahok tidak mungkin lebih dari 5 (lima) tahun. Lama ancaman tuntutan ini, yang entah mengapa terlepas dalam pendapat Mafhud, membuat pasal 83 ayat 1 UU Pemerintahan Daerah TIDAK BERLAKU.
Secara cermat Refly Harun berpendapat, "Karena, pasal itu mengatakan bahwa mereka yang didakwa melakukan kejahatan yang ancaman hukumannya paling singkat 5 tahun, lalu akan diberhentikan sementara. Selain itu juga mereka yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan kejahatan terhadap keamanan negara, atau melakukan tindakan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," jelas Refly. (https://news.detik.com/berita/d-341...)
Namun Asrul Sani, anggota Komisi III DPR, dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, segera membantah Refly. Menurutnya, "Pembentuk UU memang menggunakan kata "paling singkat", namun maksudnya adalah untuk mengcover ancaman pidana 5 tahun baik yang 5 tahunnya itu sebagai ancaman paling lama atau paling singkat. Pasal 156a KUHP yang dikenakan kepada Ahok itu memang dirumuskan ancamannya paling lama 5 tahun," lanjutnya. Lebih lanjut Asrul berpendapat, jika menafsirkan isi dari UU tersebut dengan akrobat penafsiran leksikal maka hal itu akan melepaskan dari penerapan UU kontekstual. (https://news.detik.com/berita/d-342...)
Ada berbagai macam cara penafsiran dalam ilmu hukum, antara lain: arti perkataan atau gramatikal (yang Arsul sebut sebagai leksikal), menurut pembuat peraturan (penjelasan resmi), sejarah pembentukan undang-undang (wetshistorie), sejarah pengaturan secara huku (rechtshistorie), berdasarkan sistematika dalam peraturan (sistematis), sesuai dengan keadaan dalam masyarakat (sosiologis), tujuan dari peraturan tersebut (teleologis), kaitannya dengan bidang ilmu hukum lain (interdisipliner), dan kaitannya dengan disiplin ilmu lain (multidisipliner).
Menurut pendapat Asrul Sani, yang mengombinasikan cara-cara penafsiran, pasal 83 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah tetap berlaku, dan oleh karena itu Presiden harus memberhentikan sementara Ahok dari jabatan gubernur. Namun pendapat ini tidak ilmiah, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu hukum.
Berbagai macam penafsiran di atas tidak bersifat alternatif, tapi berurutan. Penafsiran gramatikal adalah penafsiran pertama yang setiap orang, baik sarjana hukum maupun orang awam, HARUS lakukan. Urutan ini memang tidak ada dasar hukumnya. Tapi urutan ini terjadi karena sifat, hakikat, dan fungsi dari bahasa sebagai sarana komunikasi. Jika, dan hanya jika, suatu pasal tidak dapat kita peroleh makna tunggalnya, maka kita harus melakukan penafsiran lanjutan. Karena masalah yang ada sudah jelas, maka saya tidak membahas penafsiran-penafsiran lain.
Pasal 156a dan 156 KUHP tidak mengatur tentang perbuatan yang “dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Oleh karena itu, pasal 83 ayat 1 secara keseluruhan tidak dapat dijadikan alasan untuk Presiden memberhentikan sementara Ahok.
Pendapat Mahfud MD dan Asrul Sani menunjukkan kekacauan mereka dalam berpikir. Berikut alasan saya:
1. Secara gramatikal, bunyi pasal tersebut tidak ambigu. Oleh karena itu, secara hukum kita tidak boleh melakukan penafsiran lain. (Bukankah kita hendak mencapai kepastian hukum?)
2. Pendapat Asrul Sani bahwa pembentuk UU Pemerintahan Daerah hendak mengcover paling lama dan paling singkat 5 lima tahun adalah penafsiran sejarah pembentukan undang-undang (wetshistorie). Penafsiran ini tidak perlu, tidak berdasar, dan oleh karena itu salah. Mengapa? Ternyata bunyi pasal tersebut “paling lama”. Artinya, pada akhirnya pembentuk undang-undang memilih membatasi waktu minimal yang didakwakan. Melakukan wetshitorie bukan hanya tidak ilmiah, tapi juga suatu percobaan membuat hukum sendiri. (Bukankah kita mengharamkan main hakim sendiri?)
3. Pendapat Mafhud MD tentang keberlakuan pasal 83 ayat 1 terhadap Ahok tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Oleh karena itu, usulnya tentang perlunya Presiden mengeluarkan Perppu jika tidak menon-aktifkan Ahok adalah kesesatan berpikir lanjutan. Secara hukum tidak ada urgensi penerbitan Perppu. Tidak ada kondisi darurat hukum, mengapa Presiden perlu mengeluarkan Perppu?! (Itu sebabnya saya menggunakan kata “wacana” di atas.)
Akhirulkalam, becus berpikir, pikiran lurus, hati akan lebih tulus.
ps: Jika bermanfaat, silakan sebarkan tanpa perlu minta izin saya.
--------------------------------------------
Sumber lain :
Tidak Memberhentikan Ahok Tidak Melanggar UU
Tuntutan untuk memberhentikan Gubernur aktif DKI Jakarta Basuki Tjahtja Purnama atau Ahok karena status terdakwa oleh kelompok yang terdiri dari pengamat, aktivis dan beberapa anggota DPR baiknya ditelaah secara matang terlebih dahulu lewat pengkajian dan membaca cermat bunyi dan makna dari pasal 83 UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah
Saya mengutip isi UU no 23 Tahun 2014 Pasal 83 yang berbunyi sebagai berikut:
“Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Mari kita bahas detail kalimat di pasal 83 ayat 1 tersebut.
Pertama : Sebab pemberhentian adalah karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara PALING SINGKAT 5 TAHUN.
Kedua : Tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara dan atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI.
Berikutnya mari kita periksa pasal yang di dakwakan pada Ahok :
Pasal 156 KUHP ancaman hukuman PALING LAMA 4 TAHUN.
Pasal 156a KUHP ancaman hukuman SELAMA LAMANYA 5 TAHUN.
Dalam dalam bahasa 3 pasal tersebut (Pasal 83 UU 23 tahun 2014 dan Pasal 156 serta 156a) ada kalimat yang secara tegas membedakan yaitu PALING SINGKAT 5 TAHUN dan kalimat di pasal 156 PALING LAMA 4 TAHUN dan di pasal 156 a ANCAMAN SELAMA LAMANYA 5 TAHUN
Makna bahasa itu jelas berbeda jauh. Ancaman hukuman maksimal 5 tahun menjukan bahwa tindak pidana yang didakwa tidak masuk pada jenis pidana KEJAHATAN LUAR BIASA atau Extra Ordinary Crime. Sementara yang dimaksud oleh pasal 83 UU 23 Tahun 2014 tentunya tindak pidana penjara paling singkat 5 tahun adalah kategori tindak pidana Extra Ordinary Crime.
Perbedaan kejahatan pidana biasa dan luar biasa bisa dilihat dari besaran ancaman hukuman yg umumnya mengatur bukan pada ancaman maksimal tapi pada ancaman minimal. Hal itu di kuatkan dengan kalimat selanjutnya di pasal 83 yang mensejajarkan ancaman minimal dimaksud setara dengan tindak kejahatan pidana Korupsi, Terorisme, Makar dll.
Terkait dengan diaktifkan nya kembali ahok sebagai Gubernur tetapi statusnya adalah terdakwa maka hal itu sah dan diperbolehkan karena tidak ada pelanggaran terhadap UU 23 tahun 2014 Pasal 83, sebab dipasal tersebut jelas dikatakan kepala daerah yang diberhentikan karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
Contoh pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun ada pada UU no 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika pasal 112 ayat 2 yang berbunyi :
“Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”.
Tindak pidana korupsi yang ancaman minimal 4 tahun dan hukuman maksimalnya mencapai 20 Tahun.
Tindak pidana terorisme yang ancamannya pidana penjara paling singkat 4 tahun,
Tindakan makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ancaman hukumannya 20 tahun, seumur hidup dan hukuman mati.
Dengan uraian dan kajian bahasa serta perbandingan pasal pasal pidana lainnya maka tidak ada alasan yuridis yg mengharuskan Presiden memberhentikan Ahok.
Kalaupun ingin ditafsirkan sebaiknya Penafsiran tersebut baiknya ditanyakan kepada mereka yang terlibat sejarah pembuatan undang-undang (wetshistorische interpretatie) lewat Tata bahasa dan arti isi kalimat (grammaticale interpretatie) sehingga penafsiran tersebut adalah objektif dan dapat dipertanggung jawabkan bukan penafsiran atas kepentingan politik belaka.
Ada banyak Undang Undang kita yang menganut ancaman Pidana minimum atau dengan kalimat diancam pidana paling singkat. Tidak ada salahnya para pengamat, aktivis dan Anggota DPR mempelajari dulu pidana yang dimaksud dari pasal 83 tersebut agar tidak gagal paham dan paling tidak bisa menambah pengetahuan.
Jeppri F Silalahi
Direktur Eksekutif ILRIns
081310666655