Sekber GOLKAR
Seperti diungkapkan Herbert Feith dalam Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962), Demokrasi Parlementer saat itu dianggap sebagai suatu kegagalan dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang gemar bermusyawarah. Selama periode pasca-Pemilu (1955-1957), pada level penentuan kebijakan, banyak terjadi jalan buntu sehingga parlemen makin dianggap sebagai biang masalah.
Di tingkat eksekutif pun sama. Kabinet-kabinet yang sering bergonta-ganti itu tidak mampu mengatasi berbagai tekanan politik yang mengakibatkan semakin turunnya dukungan masyarakat kepada sistem demokrasi parlementer.
Maka di tengah situasi politik yang pelik itu, Sukarno lalu memikirkan sebuah terobosan untuk memecahkan masalah tersebut dan seperti menemukan kembali gagasan lawasnya tentang partai tunggal dalam wujud golongan fungsional. Awalnya Sukarno agak merahasiakan gagasannya. Ia hanya mengkomunikasikan hal itu dengan beberapa orang kepercayaannya, termasuk Nasution. Setelah dirasa telah memperoleh dukungan yang cukup, Sukarno mulai secara terang-terangan melakukan serangan terhadap partai-partai dan menawarkan alternatif bagi sistem kepartaian.
Serangan paling mengguncang datang dari pidato tanggal 28 Oktober 1956. Ia menyerukan untuk “mengubur partai-partai politik”. Inilah sebenarnya puncak kemuakan Sukarno terhadap sistem kepartaian dan bisa dilihat sebagai sinyal darinya untuk kembali terjun menangani urusan politik praktis.
“Pada 28 Oktober 1956, Sukarno masuk secara tegas ke dalam arena politik dengan tuntutan agar krisis politik diselesaikan dengan pembubaran partai-partai,” tulis David Reeve.
Sejak pidato itu, Sukarno makin percaya diri untuk mewacanakan golongan fungsional sebagai alternatif bagi sistem kepartaian. Apalagi ia mendapat dukungan penuh dari Nasution dan tentara. Ia kemudian dengan cepat mendorong gagasan golongan fungsional naik ke permukaan mengikuti usulan tentang restrukturisasi politik di Indonesia.
Puncaknya terjadi pada Februari 1957 ketika ia mengemukakan jalan keluar bagi kemelut politik yang terjadi selama bertahun-tahun. Pidato ini kelak dikenal sebagai “Konsepsi Presiden 1957” dan dianggap sebagai pintu masuk menuju Demokrasi Terpimpin. Pada pidato inilah Sukarno secara resmi mengumumkan gagasannya tentang golongan fungsional.
Setelah pidato itu, konsolidasi politik dilakukan dalam berbagai tingkatan untuk mewujudkan gagasan-gagasan dalam Konsepsi Presiden. Sukarno sendiri bahkan sampai turun tangan untuk merayu berbagai onderbouw partai politik yang mengurusi kelompok profesi untuk meninggalkan induknya dan bergabung dengan organisasi golongan fungsional. Sebagian menerima, sebagian menolak.
Mereka yang menerima itulah yang kemudian bermufakat untuk mendirikan organisasi konfederasi pada 1964 dengan nama Sekretariat Bersama Golongan Karya—cikal bakal Partai Golkar hari ini.
Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Ivan Aulia Ahsan
Dikutip dari:
(tirto.id - iva/zen)