Makar, bila Polri membangkang

Berikut ini salinan dari indonesianreview.com dengan judul yang sama

Perintah Jokowi menghentikan kriminalisasi KPK

IndonesianReview.com -- Pembangkangan Polri terhadap perintah Presiden RI untuk menghentikan kriminalisasi KPK semakin menguatkan adanya kekuatan besar yang menunggang korps Tribrata itu. Bahkan Polri menunjukan diri berbuat makar.  

Tanpa ada kekuatan besar, mustahil hanya seorang Kabareskrim atau Plt Kapolri berani menentang perintah presiden yang merupakan Panglima Tertinggi TNI di republik ini. Busyro Muqoddas sejak awal telah mencium aroma busuk itu. Terciptanya konflik Polri versus KPK di mata mantan wakil ketua KPK ini adalah ulah mafia migas. Mereka adalah kolaburator pemain migas bermasalah, birokrat, politisi dan pihak asing. Sejak 2008 KPK telah masuk mengusut sektor ini. Sudah barang tentu gangster kerah putih terusik (Lihat: Mafia Migas di Balik Seteru Polri-KPK).

Tak hanya migas, langkah KPK membenahi tata kelola energi dan pertambangan lainnya, termasuk di sektor perkebunan besar kelapa sawit dan kehutanan, benar-benar telah membangun macan dari tidurnya. Setelah sekian lama menjarah kekayaan perut bumi negeri ini tanpa ada gangguan berarti, langkah KPK menjadi ancaman besar bagi aktor inti korporasi multi-nasional. Saban tahun KPK justeru makin getol melakukan supervisi lintas sektoral terhadap pemberantasan korupsi sumber daya alam sekaligus penindakan hukumnya.

Aktivis senior, Chalid Muhammad, menggambarkan setidaknya ada sekitar 500 trilyun kerugian negara yang bakal diselamatkan KPK dari hasil penjarahan eksplorasi tambang, perkebunan besar dan eksploitasi hutan; baik legal maupun illegal. Ribuan perusahaan bukan hanya tidak memiliki NPWP, tapi juga mengemplang pajak.

Di sektor pertambangan saja, dihitung dari keseluruhan tata kelola yang tidak baik dalam periode satu tahun, potensi kerugian negara per tahun bisa mencapai Rp 15.000 trilyun. Fantastis! Ini yang pernah hitungan KPK sebagaimana disampaikan Abraham Samad dalam supervisi tata kelola pertambangan timah di Pangkalpinang, Bangka Belitung, 24/06/2014.

Bisnis-bisnis gajah dengan segala permainannya yang mengeruk keuntungan sebesar-besarnya hanya sanggup digarap oleh korporasi multi-nasional atas dukungan elit partai politik. Inilah “pernikahan” uang-kekuasaan, pada gilirannya kekayaan sumber daya negeri dikapling  sesuka hati. Mereka menempatkan centengnya masing-masing, bahkan sejak berpangkat rendah.

Tapi Abraham Samad di Pangkalpinang pada Juni 2014 telah mendeklarasi perang terhadap itu semua. "Kalau memang ada oknum jenderal polisi atau TNI yang melakukan pelanggaran dengan menjadi backing usaha pertambangan illegal, bisa ditarik dan dimasukkan ke peradilan umum apabila dalam kegiatan tersebut merugikan masyarakat banyak," tekan Samad.

Maka, adalah pilihan masuk akal “meng-Antasari-kan” Abraham Samad dan Bambang Widjayanto cs untuk membungkam nyali demi kelancaran operasi bisnis-politik hitam pekat tersebut. Kalau perlu sekalian “di-Munir-kan”.  Beruntung Presiden RI agak sedikit bergeser kembali ke akal sehat. Melalui lisan Mensesneg Pratikno, Jokowi memerintahkan Polri untuk menghentikan semua kriminalisasi itu. Bisa jadi keputusan ini ia ambil sebagai puncak jawaban dari apa yang ia janjikan secara tersurat di akhir Februari 2015 dimana dirinya akan mengintervensi penegakan hukum bila dalam kondisi yang sangat mendesak.

Pernyataan Praktikno dengan ungkapan “Presiden komitmen untuk stop "kriminalisasi” yang ia sampaikan kepada pers saat mendampingi Jokowi di Ponorogo, Jawa Timur (6/3/2015),  merupakan penekanan dari pernyataannya sehari sebelum itu di Kantor Setneg. Praktikno kala itu menyatakan, "Dari awal Presiden mengatakan stop, tidak boleh ada kriminalisasi."

Dengan begitu penggunaan istilah “krimininalisasi” terhadap KPK sesungguhnya telah menganulir sikap pembiaran Jokowi sebelumnya yang enggan mengintervensi penindakan hukum Bareskrim terhadap pimpinan KPK dengan dalih untuk memberikan ruang setara antar lembaga penegakan hukum. 

Kini, walau terbilang sudah sangat telat keputusan tersebut dibuat, perintah Jokowi bagaimanapun patut diacungi jempol. Sebab, ditinjau dari mikro politik-hukum, ia setidaknya telah mengeluarkan dirinya dari lilitan ambigu antara memecah sumbatan persoalan hukum yang ada dan munculnya tuduhan bahwa presiden melakukan intervensi hukum secara teknis-operasional.

Ambiguitas serupa pernah dialami SBY yang memerintahkan Polri untuk menyerahkan kasus Simulator SIM Korlantas ke KPK. Dalam kungkungan ambigu, perintah presiden memang cenderung tersumir dan tidak tegas. Karenanya cenderung dimaknai bersifat himbauan dalam menengahi perseteruan. Sehingga bentuk intervensinya lebih merupakan intervensi tidak langsung seorang Kepala Negara terhadap persoalan hukum.

Namun dalam kasus Komjen Budi Gunawan yang sedemikian rupa telah bermutasi merusak tatanan negeri, baik dalam tananan politik, hukum, sosial, bahkan perekonomian, Jokowi mesti menggunakan diskresi intervensi secara langsung terhadap pimpinan Polri. Toh ini dibenarkan dalam koridor konstitusional, yang secara yuridis-formalnya telah diamanatkan melalui UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Intervensi langsung presiden dalam tafsir UU Polri adalah dalam rangka menegakan otoritasnya sebagai atasan Kapolri sebagaimana termuat pada pasal 8 UU Polri. Sebagai pimpinan, wewenang presiden sesungguhnya lebih dari sekedar mengangkat dan memberhentikan Kapolri (pasal 11) melalui persetujuan DPR. Presiden juga punya otoritas melaksanakan peran dan fungsi manajerial dalam menetapkan susunan organisasi dan tata kerja Polri melalui Keppres (pasal 7).

Kandungan makna pasal itu cukup jelas: presiden-lah penentu arah besar kebijakan dan kinerja kepolisian. Ia seperti dirigen yang membangkitkan aura bagaimana republik ini mesti berjalan aman dan tertib. Ia mendenyutkan kembali harapan rakyat yang telah mati dengan membasmi noda-noda hitam yang menipiskan harapan itu, khususnya memangkas benalu-benalu luar yang telah lama menggeroti tubuh aparat.

Dalam hal inilah presiden bahkan wajib mengintervensi secara langsung. Ia mesti mengumumkan dengan lisannya sendiri di hadapan publik; bukan sebatas menghentikan kelompok pro anti-korupsi yang diperkarakan Polri, tapi juga semua jajaran KPK yang telah diproses secara hukum maupun yang bakal jadi target. Catat: intervensi dalam kemaslahatan merupakan bagian tugas seorang pemimpin. Sedangkan pembiaran yang terjadi akibat tidak adanya intervensi tak boleh masuk dalam rumus kepemimpinan.

Maka sejak perintah itu keluar, Kapolri wajib mulai mengeksekusinya saat itu juga. Sebabnya juga secara struktural posisi Polri adalah pelaksana operasional dan pengendali kebijakan teknis dari tata laksana organisasi Kepolisian yang ditetapkan presiden sebagaimana konsideran Pasal 9 UU No.2/2002. Dan bukankah konsideran pasal 9 UU Polri merupakan bentuk gentlemen agreement yang telah dimanifestasikan dalam sumpah jabatan saat dilantik sebagai pucuk pimpinan Polri. Sumpah jabatan itu juga selalu diikarkan para bawahannya dalam tiap Sertijab.

Karena terikat dengan kewajiban melaksanakan perintah itulah Komjen Badrodin Haiti selaku Ptl Kapolri tidak perlu bolak-balik Istana untuk dibujuk agar mau melaksanakan perintah itu. Mirip ketika SBY memerintahkan Kapolri di masanya untuk menangkap pemilik sekaligus penggasak Bank Century, Robert Tantular, harus sudah dimulai saat itu juga; andai saja perintah itu ada tentunya.

Kalau masih membangkang, Polri harap bersiap diri dituduh telah berbuat makar. Sebab pembangkangan ini sebagian unsurnya telah memenuhi delik makar dalam KUHP dan sebagian lagi mendekati delik tersebut. Tiga bentuk makar yang diatur dalam “kitab suci” penegakan hukum itu: Makar terhadap Kepala Negara RI (Pasal 104 KUHP); Makar yang memasukan Indonesia dalam penguasaan asing (Pasal 106) dan Makar yang menggulingkan pemerintahan RI (Pasal 107).

Bentuk makar pertama (Pasal 194 KUHP), pembakangan Polri telah memenuhi delik perbuatan yang bertujuan untuk menjadikan kepala negara tidak dapat menjalankan pemerintahan. Pelakunya diancam pidana 20 tahun atau seumur hidup dan hukuman mati.

Bentuk makar kedua (Pasal 106): berusaha menyebabkan seluruh wilayah Indonesia atau sebagian menjadi jajahan negara lain dan berusaha meruntuhkan bagian dari wilayah Indonesia menjadi negara mardeka tersendiri atau terlepas dari NKRI. Mengingat kuatnya cengkraman asing di negeri ini, delik tersebut sudah masuk semua. Pelakunya diancam pidana sebagaimana ancaman bentuk makar pertama, minus hukuman mati.

Bentuk makar ketiga (Pasal 107), pembangkangan Polri telah mendekati delik perbuatan yang tujuan menggulingkan pemerintahan. Pelakunya diancam 15 tahun penjara, 20 tahun penjara, penjara seumur hidup, dan maksimalnya adalah hukuman mati. Bukan apa-apa, dalam dinamika polilik yang cepat sekali berkembang, pembangkangan Polri rawan sekali ditunggangi kelompok kekuatan besar dalam upaya kudeta.

Pastilah kekuatan besar itu berani. Karena menghadapi Polri saja presiden tidak ada apa-apanya lantaran boneka semata. Maka untuk membuktikan diri bukan boneka, jelas Jokowi harus menunjukan diri siapa sesungguhnya pemimpin di republik ini.***

Postingan populer dari blog ini

Sekring / Sikring atau fuse 100 amp Honda CRV putus

Laporan Pengaduan surat No.01-06/Skel/KL/2025 warga RW018 SUNTER AGUNG JAKARTA UTARA

TATA CARA PENERBITAN SP3, SERTA PENGAJUAN PRAPERADILAN