“Ketakutan Menyebabkan Hilangnya Logika dan Sistematika Berfikir”

Kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh Peradi seakan tiada berkesudahan dan berlarut-larut, membuat para pemangku officium nobile ini menjadi apatis. Ironisnya, perjalanan 10 tahun Peradi tidak membuat organisasi besar ini menjadi kuat akan tetapi terpecah belah yang mengakibatkan para advokat bertikai dan saling mempertahankan gengsi kelompok. Tak pelak kode etik dan anggaran dasar organisasi yang seharusnya menjadi dasar acuan para advokat kerap dikesampingkan. Untuk memperoleh gambaran dan bagaimana menyikapi hal dimaksud diatas, Riska Harianja dan Romi Lubis dari daganghukum.com mewawancarai salah satu Wakil Ketua Umum DPN Peradi Sugeng Teguh Santoso. Berikut petikan dan pendapatnya.

Bagaimana anda melihat persoalan yang terjadi di Peradi pasca Munas Makassar yang menjadikan Peradi terpecah belah ?
Pada saat rapat pleno tanggal 2 maret lalu, di pimpin oleh bapak Otto Hasibuan, ditentukan bahwa Munas akan diselenggarakan di Makassar tanggal 26 sampai 28 maret. Alasan mengapa Makassar menjadi pilihan menurut pak Otto adalah karena disana ada hotel yang dapat menampung hingga 2000 orang. Dan menurut peserta rapat yang menurut pendapat saya sudah di stel atau sudah dikondisikan disetejui dengan bulat.
Walaupun kemudian dipersoalkan oleh rekan Johnson Panjaitan dan rekan Timbang Pangaribuan, tetapi ini menjadi suara minoritas, di tengah rapat yang sudah dikondisikan sebelumnya. Walaupun pendapat Johnson Panjaitan benar, bahwa dalam penentuan tempat harus demokratis dan kemudian mengapa harus diusulkan di Makassar itu tidak terjawab. Semua hanya mendukung apa yang dikemukakan oleh Otto Hasibuan.

Kongkritnya ? 
Pada saat itu, saya tidak menyadari bahwa itu sudah di stel sebelumnya, karena saya merasa pada saat itu di DPN saya diam saja. Sebetulnya, sebelum tanggal 2 sudah ada beberapa keanehan-keanehan. Kami, beberapa orang pengurus DPN tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan di DPN. Saya sebagai wakil ketua umum, pak Leonard Simorangkir, Nelson Darwis dan lainnya. Ketua DPN, dalam hal ini Otto Hasibuan melenggang sendiri dengan pikirannya termasuk menentukan tempat dan waktu munas. Saya pada waktu itu agak telat berfikirnya.
Setelah waktu dan tempat diputuskan saat itu juga di bentuk SC dan OC. Saya salah satu yang disebut sebagai SC. Tetapi perjalanannya, SC yang diketuai oleh rekan Achil Suyanto itu tidak pernah mengundang saya untuk menyusun perencanaan. Hingga pada akhirnya saya menelepon pak Achil dan mengatakan mengapa saya tidak pernah dilibatkan atau diundang?. Ketua SC pada saat itu tidak bisa memberikan jawaban yang jelas alias menghindar-menghindar.

Lalu bagaimana anda melihat “bola panas” yang digulirkan oleh Ketua DPN dalam suksesi Pemilihan Ketua Peradi 2015 – 2020 ?
Ada kecurigaan dari beberapa kandidat. Sebelum munas dilaksanakan, ada pelantikan DPC-DPC. Seperti surabaya PBH, Sukabumi dan lain sebagainya. Didalam setiap acara pelantikan atau apapun itu, selalu hadir Fauzi Hasibuan dan Thomas Tampubolon. Entah karena mereka lebih cepat mengakses informasi, atau kandidat lain tidak mengetahui. Tetapi mereka selalu ada.
Dan dalam kesempatan itu, pak Otto Hasibuan mendukung Fauzi secara terbuka. Dan kami di DPN juga tidak pernah diajak bicara. Saya sebagai SC juga tidak pernah diundang, termasuk tim sukses kandidat lain, itu sudah aneh bagi saya. Dengan berdasarkan itu, beberapa orang yang tidak dilibatkan ini membuat surat ke DPN untuk bertindak adil. Jangan melakukan pelantikan pengurus DPC menjelang munas. Karena diduga sebagai penggalangan dukungan suara. Yang disambut dengan statment dari pak Otto bahwa hal itu adalah pelanggaran anggaran dasar, saya tidak tau anggaran dasar yang mana yang dilanggar. Bagi saya mengkritik kan bukan pelanggaran anggaran dasar. Justru memutuskan sesuatu tanpa melibatkan pengurus DPN yang lain itu yang menyalahi anggaran dasar, dan mempertanyakan keabsahan keputusan yang diambil. Termasuk rakernas tanggal 18 April lalu, itu di DPN tidak pernah ada rapat. Diputuskan sendiri oleh Otto dan para komplotannya. Otto Hasibuan ini bukan sedang memimpin, tetapi sedang berkomplot. Jadi akibat surat yang dikirimkan beberapa wakil ketua umum semakin mempertajam friksi dengan Otto.

Apa yang terjadi setelah itu ? Apakah konflik dapat dieliminir ?
Kalau dengan saya, pak Otto tidak ada hubungan emosional. Saya dan pak Otto hanya bertemu pada platform yang sama, yaitu menjaga Peradi. Akan tetapi Otto Hasibuan punya kelompok yang bisa dibilang komplotannya sendiri. Yang isinya orang-orang yang ingin dekat dengan ketua umum, orang-orang yang haus kekuasaan. Jadi yang diucapkan kepada saya satu tahun untuk memperpanjang kepengurusan Dewan Kehormatan itu sampai sekarang tidak terealisasi. Akhirnya pak Leonard dan saya berpendapat pak Otto tidak ada itikad baik. Dewan kehormatan harus berjalan. Tidak boleh terjadi ke vakuman, ini juga satu tanggung jawab yang diletakkan di pundaknya pak Otto. Sampai hari ini Dewan Kehormatan tidak bisa bekerja.
Kami bekerja bukan tanpa resiko. Gugatan ada yang masih berjalan. Bahkan ada Dewan Kehormatan Surabaya mengeluh tidak diperpanjang. Kemudian saya tidak ada hubungan lagi dengan pak Otto setelah rapat tersebut. Karena saya merasa tidak ada urusan lagi. Karena Dewan Kehormatan tidak diperpanjang, yang disampaikan tidak juga terealisasi, kalau ada ketersinggungan atau apa sebagai pemimpin bisa mengundang, akan tetapi tidak dilakukan oleh pak Otto. Menurut saya Otto Hasibuan aneh, menyelesaikan sesuatu tidak secara terbuka. Terutama kepada saya.
Saya tidak mau pada sikap abu-abu, saya juga tidak pernah dilibatkan di SC. Yang menurut saya, saya lebih punya kualitas dibanding Achil Suyanto yang nyali saja tidak punya. Jadi pak Otto memilih orang-orang seperti itu. Untuk kepentingan Peradi harusnya pak Otto berani mengkritik dan di kritik. Otto tidak pernah mengajak kami untuk berdiskusi. Misalnya saya, pak Luhut dan lainnya. Untuk rapat harian saja tidak pernah. Selalu rapatnya dengan para pendukungnya dan komplotannya.

Menurut anda, apa yang membuat konflik di Peradi semakin memanas ?
Sampailah saatnya kemudian Munas Peradi. Di Munas, pak Otto memutuskan untuk menunda munas 3 sampai 6 bulan. Dengan alasan keamanan, dan disitu lagi-lagi, kami tidak pernah diminta pendapat. Dia hanya berbicara dengan komplotannya. Sekali lagi, Dia tidak sedang memimpin, tetapi sedang berkomplot. Kalau pak Otto tidak suka, silahkan menggunakan hak jawab. Saya berpendapat pak Otto tidak sedang memimpin, tetapi sedang berkomplot.
Entah untuk kepentingan apa, saya pun tidak tau. Karena secara pribadi, pak Otto tidak ada masalah. Pada arena munas, panitia dalam hal ini ketua SC dan OC tidak muncul memimpin acara. Yang terjadi, Gaduh. Memang ada keributan, saya menduga dari kelompok nya Humphrey, walaupun menyuarakan one man one vote diperjuangkan lah di munas melalui mekanisme utusan. Orang-orang yang bukan utusan jangan dipaksa masuk. Tetapi itu bukan menjadi masalah. Pemimpin harus mempunyai sikap kesatria, bahaya apapun harus dihadapi. Bahkan serangan fisik pun harus dihadapi. Jadi waktu itu, tidak ada yang memimpin. Jam 9 tidak ada yang turun, panitia SC dan OC “ayam sayur” semua. “Pengecut” semua.
Akhirnya saya diminta memimpin, mengambil alih sementara. Memanggil SC dan OC tetapi tidak turun. Akhirnya saya menjemput panitia yang berada di lantai 10. Ketika sampai disana, pak Otto dengan para pendukungnya dan dari beberapa DPC sedang rapat, ada polisi. Ketika ada yang masuk ada yang menanyakan kepada saya, ini siapa..?? yang akhirnya saya jawab dengan banyolan nama saya joko. Lalu saya berbicara dengan pak otto. Hal pertama yang saya katakan kepada pak Otto adalah dibawah sedang gelisah, tunjukan kepemimpinan kita. Yang kedua, pak Otto harus mengumpulkan para kandidat calon ketua umum dan tim suksesnya untuk diberi arahan karena pak Otto adalah pemimpin. Dan jawabannya iya Sugeng, nanti.
Saya merasa mendapat komitmen. Akan tetapi ada satu pertanyaan yang menurut saya tidak perlu dilontarkan. Ada seseorang yang menanyakan bagaimana caranya kita turun? Masuk ke ruangan. Dalam benak saya, itu pertanyaan apa? Apakah harus pake kursi roda? Atau merangkak? Atau pakai helikopter. Itu pertanyaan bodoh. Jadi pertanyaan itu dilatar belakangi perasaan ketakutan yang amat sangat adanya ancaman fisik. Dan saya mengatakan bahwa itu pertanyaan yang tidak perlu. Sekali lagi, itu pertanyaan bodoh. Mereka semua adalah kawan-kawan kita, bagian dari kita, jadi tidak perlu kuatir. Ada aparat keamanan. Pada saat itu rasa takut mereka menghilangkan logika dan sistematika berfikir. Logika berfikir mereka lumpuh karena perasaan takut. Atau rasa takut memang diciptakan. Oleh pihak-pihak tertentu. Supaya mereka lumpuh dan tidak bisa berpikir.

Bagaimana menurut anda pemecahan masalahnya ?
Setelah beberapa kali penundaan, akhirnya ketua panitia lokal, ketua DPC Peradi Makassar mengatakan kami tidak mampu dengan alasan keamanan. Dan pak Otto menambahkan bahwa ada 44 DPC telah membuat pernyataan meminta penundaan. Lalu yang menjadi pertanyaan saya ini forumnya peserta munas atau siapa?. Peserta munas ada dihadapan kita, kenapa tidak ditanya kepada peserta munas.
Lalu Ketua DPC Peradi Makassar mengatakan telah berkonsultasi dengan DPN. Saya maju, tidak dihiraukan oleh pak Otto. Saya mengatakan yang termasuk DPN Peradi itu bukan hanya pak Otto saja, kami tidak pernah merasa dilibatkan. Kemudian pak Otto turun. Saya menduga memang ada beberapa orang yang bukan advokat yang masuk. Itu karena cara kepemimpinan yang salah.
Bagaimana caranya. Dalam wawancara ini saya mau ajarkan mereka itu. Memimpin itu ada tatacaranya. Sidang di buka, munas kita mulai, lalu kita akan menghitung suara. Absen dulu. Kemudian yang tidak memakai tanda pengenal mohon untuk keluar dari ruangan munas. Tidak mau dan ribut..? Baru disitu munas di skors. Kita minta panitia dan aparat keamanan untuk berbicara dengan peserta munas yang tidak memakai tanda pengenal. Kita kan belum tempuh itu, terjadi keributan, tinggal di skors. Sampai batas waktu yang ditentukan. Kalau terjadi keributan mohon aparat kepolisian masuk. Kan aparat polisi tidak bisa masuk kalau tidak diundang oleh pimpinan sidang. Ini tidak dilakukan. “ketakutan membuat lumpuh logika berfikir atau menjadi kebodohan, atau itu memang yang diinginkan.
Menunda munas ini dengan dengan alasan takut dan ada kekhawatiran kandidatnya tidak menang. Karena pada hari itu tiba-tiba beredar berita dikoran bahwa Fauzi dilaporkan penipuan. Jadi ada berbagai analisis dalam hal ini. 1. Ketakutan berlebihan, 2. Memang karena kondisi yang sengaja diciptakan supaya di tunda. Saya sebagai orang yang ikut mengawal Peradi selama 10 tahun, sampai saya merasa SPI itu tidak penting untuk dibangkitkan lagi, saya merasa dirugikan kalau begini cara kepemimpinannya.
Setelah pak Otto lari dikejar, dan saya rasa bukan dari orang-orang peradi tetapi tidak bisa di klarifikasi karena tidak ada kepemimpinan yang kuat baik dari SC dan OC maupun pak Otto sendiri. Alasan pak Otto menunda munas karena tidak ingin terjadi benturan. Saya rasa tidak akan terjadi benturan kalau kita bisa mengendalikan. Ada aparat keamanan yang sudah siap. Kalau perlu disekat. Mereka kan ada disebelah kiri ruangan munas, disekat oleh aparat keamanan kalau mereka tidak mau keluar. Dan kita minta aparat keamanan berjaga-jaga, siapkan segala kamera. Sudah ada panitia yang harusnya bisa mengatur itu. Jadi panitia tidak bekerja. Jadi untuk apa rapat 2 April itu. Rapat yang menggalang suara koor untuk mendukung munas diadakan di Makassar, penunjukan SC, OC dan hal-hal yang berkaitan dengan munas. Jadi lagunya kau yang memulai, kau yang mengakhiri.

Sebagai penutup, terkait dengan kepengurusan yang anda katakan “melenggang sendiri”, bagaimana anda menyikapinya ?
Saya bertahun-tahun berorganisasi heran karena munas batal karena alasan keamanan. Orang belum ada meja terbang. Dan Kapolrestabes menyatakan tidak benar alasan keamanan, kami siap jika diminta. jadi menurut saya perlu dibentuk tim investigasi independent. Kemudian akibatnya kan seperti yang kita ketahui bersama, pecah lah Peradi itu. Ada Juniver Girsang mendeklarasikan diri sebagai Peradi, yang boleh saya katakan “abal-abal”. Ada yang bertahan di dalam ruangan munas yaitu careteker. Walaupun sekarang pecah. Ya sudah, sekarang berantakan. Realitanya pak Otto masih kuat, karena dia menguasai cabang-cabang dan layanan pada para anggotanya bagus. Tetapi bukan ini, ini tanggungjawab pak Otto. Makanya ketika rapat DPN tanggal 14 April, saya minta agar pak Otto bertanggungjawab, dan itu saya katakan secara langsung. Karena takut calonnya tidak menang atau bagaimana. Disitu pak Otto marah. 10 tahun saya bersama dengan dia, saya baru melihat pak Otto marah saat itu.
Pada rapat terakhir tidak memutuskan ada rakernas. Hari Sabtu nya itu ada rakernas tetapi tidak diputuskan di rapat DPN. Jadi saya mengambil kesimpulan bahwa “Otto tidak sedang memimpin, tetapi sedang berkomplot”. Tulis itu. Dengan tujuaan apa saya tidak tahu. Tetapi namanya berkomplot, ya sudah tidak baik. Kalau Otto mengatakan belum turun, ya kenapa kemudian kita ditinggalkan. Itu bukan cara memimpin. Cara memimpin adalah bagaimana menyatukan pendapat-pendapat sekalipun berbeda. Kemudian mengambil keputusan berdasarkan kepentingan organisasi. Dan komplotannya itu tidak bisa disalahkan, yang salah adalah pemimpinnya. Kenapa tidak tegas dan sala memberikan arahan.
Pak otto itu mudun gelanggang colong pelayu. Istilah yang terkenal ditahun 1998, waktu pak Harto mundur dari jabatan presiden. Mundur begitu saja menyerahkan kekuasaannya, itu mudun gelanggang colong pelayu. Jadi lari dari tanggung jawab.***

Postingan populer dari blog ini

Sekring / Sikring atau fuse 100 amp Honda CRV putus

Mengenang Dr. J. Leimena