Pengacara / Advokat

Jika negara (trias poltica) ingin sewenang wenang tanpa ada yang mengawasi tegaknya "kebenaran" maka para pengacara/advokat termasuk organisasi advokat itulah yang akan dilemahkan atau dibiarkan lemah karena para pengacara/advokat itulah yang terdepan tampil sebagai pembela menentang kesewenang-wenangan.
Untuk itu tetaplah berjuangan, pantang mundur menegakan keadilan dan kebenaran "fiat justia ruat ceolum"

Disisi lain bisa juga karena bangsa Indonesia yang hidup di abad 21 ini masih berada seperti di abad 12 di Eropa sana.

Dalam kumpulan tulisan Jerome Frank “Law and the Modern Mind”, beliau mengutip pendapat Roscoe Pound yang mengatakan bahwa kebencian terhadap seorang pengacara itu sebagian besar kecemburuan dari kalangan pendeta atas meningkatnya profesi pengacara non-pendeta, karena pada abad ke-12 profesi pengacara berada dalam posisi yang menguntungkan. Dari kebencian tersebut muncul sikap tidak percaya kepada pengacara, Jerome Frank mencontohkan bait gay seorang komedian yang berujar:“Aku tahu kalian pengacara bisa, dengan mudahnya, memlintir kata dan asrti sesukanya; bahasa, dengan keahlianmu, dapat menjadi liat, akan menekuk untuk membantu klien. Tidak semua kritik sehalus itu. “Masuk ke ranah hukum,” kata Josh Billing, Bagaikan menguliti sapi yang baru menghasilkan susu untuk mendapatkan kulitnya dan memberikan dagingnya pada pengacara.”  
Atau Arnold Bennet yang mencela “pengacara sebagai musuh paling jahat dalam perkembangan sosial saat ini”.
Bahkan ada yang mengejek untuk menentang pengacara dengan sebutan“bermuka dua”, “perkataan bermakna ganda”, sistem penipuan yang luas”, tukang sulap”, “keterampilan berputar-putar”, “seni membingungkan dan mengacaukan” dan “menggelapkan penjelasan”. 
Mendapat pemaparan dari Jerome Fank demikian, kemungkinan bangsa Indonesia saat ini pun ada yang mengalami kebencian demikian, bagaimana tidak saat ini penegak hukum di negara kita yang termasuk didalamnya pengacara suka membuat rakyat merasa bingung melihat tingkah polahnya, hingga pada akhirnya diramalkan bahwa jika keadilan semakin teralineasi dari masyarakat umum, akan ada saatnya pendapat pakar hukum disingkirkan oleh opini masyarakat awam.

Memang perlu dipahami, bahwa usia demokrasi di Indonesia masih muda. Proses rasionalisasi telah tersumbat puluhan tahun lamanya, meski mungkin metode berpikir rasional bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia.
Keberadaan institusi hukum diIndonesia, dengan segala carut marutnya, telah ‘tersembunyi’ dengan rapi di balik wibawa rezim-rezim yang sebelumnya pernah berkuasa di Indonesia.
Institusi hukum di masa Orde Baru, misalnya, sudah memiliki satu cetak biru yang jelas. Keberpihakan hukum adalah pada penguasa. Artinya, wibawa hukum dijamin dengan wibawa kekuasaan. Hukum adalah sebuah institusi yang pada dasarnya tidak boleh bertentangan dengan penguasa. Penguasa pada saat itu adalah pemerintah namun kini penguasanya telah melebar tidak hanya pemerintah tetapi hingga kesetiap organ yang ada didalam paham trias politica. Dengan adanya proses demokratisasi yang terjadi pasca reformasi, sedikit banyak telah terjadi perubahan cara pandang terhadap institusi hukum tersebut.

Profesionalisme di mata advokat, jaksa, atau hakim tentu saja berbeda. Perbedaan ini bukan (hanya) karena mereka memiliki pandangan yang berbeda akan sebuah permasalahan hukum, namun karena mereka harus menempati posisi-posisi yang memang berbeda dalam sebuah proses peradilan. Kita tentu tidak bisa berharap bahwa seorang advokat harus menjadi hakim, sebagaimana juga sebaliknya, seorang hakim haruslah menempatkan dirinya sebagai seorang hakim, seorang penengah. Artinya, adagium ‘audi et alteram partem’ (dengar juga dari sisi sebaliknya) mesti berlaku tanpa kecuali.

Rawls mendasarkan konsep keadilan proseduralnya pada teori kontrak sosial. Artinya, proses peradilan itu akan dirasa perlu oleh seluruh elemen masyarakat, karena hanya dengan begitu kepentingan yang mereka ada dan akan ada dapat terlindungi. Seluruh elemen masyarakat akan merasa berkepentingan pada adanya sebuah jaminan prosedur keadilan, karena, kalau tidak, yang terjadi adalah hukum rimba. Negaralah yang pada akhirnya memastikan bahwa proses tersebut mesti terjamin dengan baik. Kepentingan lembaga negara sendiri, tentu saja ada pada terciptanya keamanan dan stabilitas politik nasional. Pendeknya, seorang profesional hukum yang ideal di mata Hol dan Loth adalah seorang iudex mediator. Dia harus dapat menjadi penghubung antara dua pihak yang bertikai. Selanjutnya, dia juga harus dapat menjadi jembatan antara pihak-pihak tersebut dengan masyarakat, serta dapat menimbang beragam kepentingan, norma, dan nilai yang ada di dalam masyarakat. Begitulah seorang profesional hukum yang ideal menurut Hol dan Loth. Tidak kurang, tidak lebih.

Jadi apakah akan kita biarkan profesi advokat yang mandiri itu carut marut ?
Kemandirian itu bukanlah membiarkan advokat terbengkalai sendiri.
Cukuplah kemandirian itu dalam bentuk kebebasan menyampaikan dan menegakkan hukum secara mandiri yang tidak terikat dirinya sebagai karyawan maupun organ dari trias politica. Sehingga apabila masyarakat membutuhkan penegak hukum yang mandiri, advokat dapat menjalankan profesinya sesuai dengan hukum dan keadilan yang benar tanpa perlu takut pada kekuasaan.

*Kario Lumbanradja

Postingan populer dari blog ini

Sekring / Sikring atau fuse 100 amp Honda CRV putus

Mengenang Dr. J. Leimena