Ketua DPR Jamin UU MD3 Tak Digunakan untuk Bungkam Kritik Minggu, 18 Maret 2018 

Jakarta, 18 Maret 2018

JAKARTA, KOMPAS.com 

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo menjamin bahwa keberadaan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) tak lantas membuat DPR menjadi lembaga anti-kritik.

Hal itu menanggapi Pasal 122 huruf k yang dinilai menjadikan DPR bisa membungkam kritik yang dilontarkan ke anggota Dewan.

Pasal itu berbunyi, Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Bambang menjamin pasal itu tidak disalahgunakan atas dalih pencemaran nama baik.

"Enggak akan bisa kita pakai. Inilah yang perlu masyarakat mengerti, yang pasti DPR tidak kebal hukum, tidak anti-kritik, dan tidak anti-demokrasi," ujar Bambang dalam sebuah diskusi di kawasan Kelapa Gading, Jakarta, Minggu (18/3/2018).

Baca juga: Ketua DPR Tegaskan UU MD3 Tak Lindungi Anggota Dewan dari KPK

Kendati demikian, Bambang mengatakan, masyarakat perlu memahami batasan antara kritik, ujaran kebencian, fitnah, dan penghinaan.

DPR akan tetap terbuka atas kritik dan saran yang membangun demi kepentingan masyarakat. Ia pun tidak melarang berbagai pihak menyampaikan pendapatnya ke Gedung DPR.

"Jadi boleh-boleh saja. Sejauh tidak menyerang pribadi. Menyerang boleh sebetulnya asal ada bukti konkret karena DPR adalah milik rakyat. Maka, apa pun yang disampaikan adalah untuk kepentingan rakyat," ucapnya.

Tanpa kritik pun, kata Bambang, DPR tidak bisa mengetahui apa saja kekurangan dalam berbagai pencapaian DPR. Melalui kritik, DPR bisa mengetahui hal-hal apa saja yang perlu diperbaiki.

Baca juga: Enggan Revisi UU MD3, Ketua DPR Sebut Masih Banyak PR

Seperti diketahui, ada beberapa pasal yang dianggap kontroversial lantaran membuat DPR semakin superbody,yaitu:

1. Pasal 73

Klausul revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dalam pasal ini ditambahkan frasa "wajib" bagi polisi membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR, namun enggan datang.

Ketua Badan Legislasi DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) revisi UU MD3 Supratman Andi Agtas mengatakan, penambahan frasa "wajib" dalam hal pemanggilan paksa salah satunya terinspirasi saat Komisi III memanggil gubernur.

Saat itu gubernur yang dipanggil tak kunjung hadir memenuhi undangan rapat dengar pendapat.

Selain itu, DPR juga melihat polemik Panitia Khusus (Pansus) Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak bisa menghadirkan lembaga antirasuah tersebut.

2. Pasal 122 huruf k

Pasal ini berbunyi, MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

3. Pasal 245

Pasal ini menyatakan, DPR dan pemerintah sepakat bahwa pemeriksaan anggota DPR harus dipertimbangkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum.

Klausul itu menjadi kesepakatan antara pemerintah dan DPR dalam revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terkait Pasal 245.

Padahal, sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan klausul atas izin MKD sehingga izin diberikan oleh presiden.

Kini DPR mengganti izin MKD dengan frasa "pertimbangan".

Sumber: nasional.kompas.com

Postingan populer dari blog ini

Sekring / Sikring atau fuse 100 amp Honda CRV putus

Mengenang Dr. J. Leimena