Menyoal tentang pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh lebih dari 50 persen suara dalam pemilihan umum, dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia

Menyoal tentang:
"pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh lebih dari 50 persen suara dalam pemilihan umum, dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden."


Bagaimana Kata Konstitusi?

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, pemilihan Presiden dan Wakilnya diatur lewat UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Aturan kemudian dipertegas lagi pada Pasal 159, utamanya ayat (1) dan (2).

Ayat (1) menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh lebih dari 50 persen suara dalam pemilihan umum, dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Kemudian, di ayat (2) disebutkan ketika tidak ada pasangan calon yang bisa memenuhi kualifikasi di ayat (1), maka kedua pasangan calon akan dilibatkan dalam pemilihan kembali━dengan suara terbanyak yang jadi pemenangnya. Baik ayat (1) maupun (2) merupakan duplikasi dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945.

Namun, dalam perkembangannya, aturan ini justru menimbulkan polemik sebab dianggap tidak sesuai dengan kondisi riil. Pada 2014, upaya uji materi pun dilakukan.
Para pemohon menilai, ketentuan tersebut berpeluang menimbulkan ketidakpastian hukum. Argumennya, dalam doktrin pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, di samping wajib menjamin keadilan, juga harus memastikan terwujudnya kepastian hukum.

Karena itu, agar menghindari kesimpangsiuran pemahaman dan menjamin keadilan maupun kepastian hukum, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pasal ini dinilai tidak secara eksplisit menjelaskan berapa jumlah pasangan calon dan hal tersebut baru diketahui jika dikaitkan dengan ketentuan ayat (2) di pasal yang sama.

Padahal, dengan melihat situasi pada pilpres 2014, hanya terdapat dua pasangan calon yang bertarung. Pemohon beranggapan konstruksi hukum yang dibangun dalam Pasal 159 adalah untuk pemilihan yang kontestannya lebih dari dua pasangan.

MK, pada akhirnya, mengabulkan uji materi para pemohon yang kemudian dituangkan lewat Putusan MK No.50/PUU-XII/2014 (PDF). Dalam putusan tersebut ditegaskan bahwa Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres bersifat inkonstitusional bersyarat━sepanjang pilpres hanya diikuti dua paslon Presiden dan Wakil Presiden.

Penetapan putusan ini punya arti: apabila Pilpres hanya diikuti dua paslon, maka yang akan resmi dilantik oleh KPU adalah yang memperoleh suara terbanyak. Dengan begitu, pilpres dipastikan berlangsung hanya satu putaran dan mengambil mekanisme suara terbanyak━sehingga syarat persentase persebaran suara juga jadi tidak berlaku.

Putusan MK lantas dimasukan dalam Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.

Dari sembilan hakim yang menguji pasal tersebut, terdapat dua hakim yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion): Patrialis Akbar dan Wahidudin Adams. Patrialis menyatakan ketentuan Pasal 6A ayat (2) dan (3) tetaplah berlaku.

“Presiden itu tak cuma representasi rakyat mayoritas, tetapi juga didukung representasi daerah. UUD bilang seperti itu. Bahasa konstitusi begitu," katanya, sebagaimana diwartakan oleh Kompas.com.

Postingan populer dari blog ini

Sekring / Sikring atau fuse 100 amp Honda CRV putus

Mengenang Dr. J. Leimena