Rizal Ramli, Perihal Pembubaran BP MIGAS
Quote Rizal Ramli:
Begitu pemerintahan Gus Dur jatuh, undang-undang ini kemudian
diajukan dengan sangat cepat oleh Pak Boediono sama Pak Purnomo
kawan saya dan diproses di DPR dengan sangat cepat.
diajukan dengan sangat cepat oleh Pak Boediono sama Pak Purnomo
kawan saya dan diproses di DPR dengan sangat cepat.
Rabu, 18 Juli 2012.
Yang Mulia Bapak Ketua dan Anggota Mahkamah
Konstitusi, Pak Din
Syamsudin Ketua Muhammadiyah, Pak
Amidhan dari MUI, dan kawan-kawan
dari Muhammadiyan dan NU, dan
para tim pembela. Inisiatif untuk
meminta judicial review tentang
Undang-Undang Migas ini menurut saya
ini suatu hal yang historis yang
diminta oleh kawan-kawan organisasi
sosial kemasyarakatan paling
besar di Indonesia .
Saya ingin menyampaikan beberapa
hal. Yang pertama adalah proses
pembuatan Undang-Undang Migas
ini. Undang-Undang Migas ini dibiayai
dan disponsori oleh USAID dengan
motif: 1. Agar sektor migas
diliberalisasi. 2. Agar terjadi
internasionalisasi harga, agar
harga-harga domestik migas
disesuaikan dengan harga internasional. 3.
Agar asing boleh masuk sektor
hilir yang sangat menguntungkan dan
bahkan risikonya lebih kecil
dibandingkan sektor hulu.
Pertama kali draft undang-undang
ini diajukan oleh Menteri
Pertambangan Kuntoro
Mangunsubroto pada masa pemerintahan Habibie,
ditolak oleh DPR atas saran kami
karena kami pada waktu itu adalah
penasihat DPR untuk keempat
Fraksi, Fraksi Angkatan Bersenjata, Fraksi
Golkar, dan PPP dan PDIP.
Kemudian selama pemerintahan Gus
Dur Undang-Undang ini nyaris stak
tidak ada kemajuan karena tidak mungkin
dilewatkan jika Menkonya itu
Pak Kwik Kian Gie dan kemudian
dilanjutkan oleh saya. Begitu
pemerintahan Gus Dur jatuh,
undang-undang ini kemudian diajukan dengan
sangat cepat oleh Pak Boediono
sama Pak Purnomo kawan saya dan
diproses di DPR dengan sangat
cepat.
Setelah itu, Kedutaan Besar
Amerika dan USAID mengirim laporan ke
penting untuk kepentingan bisnis
Amerika di sektor migas di Indonesia .
Pembuatan undang-undang yang
dibiayai oleh asing biasanya banyak
prasyarat, dan
conditionalities-nya, dan sering diiming-imingi dengan
pinjaman, apa yang dikenal
sebagai loan-tied laws, undang-undang yang
dikaitkan dengan pinjaman.
Dalam sejarah Indonesia , itu
banyak sekali kasusnya. Saya berikan
contoh, ADB menawarkan
U$300.000.000,00 dengan syarat Pemerintah
Privatisasi BUMN ini dipesan oleh
ADB dan ditukar dengan pinjaman
sebesar U$300.000.000,00.
Undang-Undang Privatisasi Air dipesan oleh
Bank Dunia dengan memberikan
pinjaman U$400.000.000,00. Jadi, air yang
di dalam Undang-Undang Dasar kita
dinyatakan sebagai dikuasai oleh
negara untuk kepentingan rakyat
sebesar-besarnya, itu pun mau
diswastanisasikan. Dan untuk itu,
Pemerintah Indonesia
diberikan
pinjaman U$400.000.000,00,
Undang-Undang Migas termasuk. Jadi
undang-undang yang dikaitkan
dengan pinjaman luar negeri, penuh
prasyarat, itu tidak mungkin
tujuannya betul-betul untuk
menyejahterakan rakyat dan negara
Indonesia .
Sudah pasti ada
kepentingan strategis,
kepentingan bisnis di belakangnya yang ikut
dompleng persyaratan
daripadaundang-undang tersebut.
Ini semuanya kebanyakan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,
banyak sekali undang-undang
begini. Dan ini adalah pintu masuk dari
liberalisasi dan neoliberalisasi
di dalam bidang ekonomi.Jadi, kalau
zaman Belanda dulu, Belanda mau
berkuasa di Indonesia ,
itu harus pakai
senjata, harus pakai pasukan.
Kalau sekarang itu tidak perlu, siapa
saja boleh jadi presiden ya,
siapa saja, partai apa saja boleh
berkuasa. Yang penting,
undang-undang dalam bidang ekonominya itu
merupakan pesanan dari
kepentingan asing. Dari situlah Indonesia
dipaksa mengambil langkah-langkah
dan undang-undang yang bertentangan
dengan Undang- Undang Dasar 1945
dan bertentangan dengan itikad untuk
memanfaatkan semua sumber daya
alam itu untuk kesejahteraan rakyat dan
bangsa.
Seharusnya, pembuatan
undang-undang tidak boleh dibiayai oleh asing,
harus dibiayai sendiri oleh APBN,
sehingga undang-undang betul-betul
mencerminkan kepentingan rakyat
dan bangsa kita. Tidak mungkin asing
membiayai dan memesan
undang-undang tanpa melibatkan kepentingan
strategis mereka. Salah satu
adalah menyangkut harga. Menurut UU Migas
harga itu harus sama dengan harga
internasional. Saya mengulangi
kembali karena ini penting
sekali. Contoh yang sangat sederhana,
pulpen ini ongkos produksinya
Rp90,00. Kalau dijual di Indonesia ,
harganya Rp100,00. Tetapi
seandainya pulpen ini dijual di New
York ,
harganya Rp1.000,00. Para ekonom neoliberal dan essensi UU Migas akan
mengatakan, “Indonesia rugi
karena kalau dijual di dalam negeri
hanya
Rp100,00, kalau dijual di
luarnegeri, di New York ,
ini Rp1.000,00.”
Inilah di belakang dasar dari
banyak pikiran supayaharga Migas di
dalam negeri disamakandengan
hargainternasional.
Internasionalisasi harga tersebut
juga sudah terjadi di dalam bidang
kesehatan, pendidikan, migas, dan
sebagainya. Nah harganya, harga
internasional, tapi pendapatan
rakyatnya, pendapatan Melayu,
pendapatan lokal. Kebijakan
seperti ini adalah, strategi jalur cepat
untuk mendorong proses pemiskinan
struktural.
Kenapa? Kalau memang demikian,
rakyat Indonesia
berhak meminta,
“Naikkan dulu dong pendapatan
kami sama dengan di New York ,”
yaitu
rata-rata U$40.000 atau
Rp400.000.000,00. Kalau pendapatan rakyat
sudah segitu, rakyat Indonesia saya
rasa tidak keberatan, kalau
harga-harga dinaikkan sama dengan
di New York
tidak ada masalah.
Negara-negara di Asia yang berhasil mengejar ketinggalannya dari
barat, tidak langsung
menyesuaikan dengan harga internasional, tapi
terlebih dahulu mendorong, memacu
pertumbuhan ekonomi di atas 10%,
meciptakan lapangan kerja,
meningkatkan pendapatan, baru harga-harga
disesuaikan. Jadi, ada perbedaan
mendasar dengan apa yang dilakukan di
rakyatnya dan mengejar
ketinggalannya dari Barat. Kita ini seolah-olah
satu-satunya solusi hanya
menyesuaikan harga dengan harga
internasional dan berhutang.
Menurut hemat kami,
internasionalisasi harga tersebut bertentangan
dengan Undang- Undang Dasar 1945,
terutama untuk komoditi-komoditi
yang strategis, seperti migas,
pendidikan, dan kesehatan. Kalau
misalnya ini menyangkut mobil,
elektronik, dan lain-lain, kami tidak
ada masalah, serahkan kepada
mekanisme pasar. Tapi kalau menyangkut
kepentingan yang strategis,
negara berhak menentukan dan melakukan
intervensi agar harga itu tidak
selalu sesuai dengan harga
internasional. Apalagi apa yang
disebut sebagai harga internasional
itu? Selama 20 tahun terakhir,
harga internasional bukanlah
mencerminkan supply and demand.
Saya mohon maaf, tadi ada saksi
pemerintah yang mengatakan supply
and demand. Tidak, itu adalah harga
para spekulator financial yang
mempermainkan harga-harga komoditi.
Sebagian besar dari pembentukan
harga itu adalah permainan para
spekulator, bukan hanya hukum
supply and demand. Jadi untuk Indonesia
sekedar ikut-ikutan harga
internasional, sebetulnya menyerahkan nasib
kita kepada para spekulator
internasional.
Satu yang penting, Pak Ketua.
Menurut saya penting karena disinilah
permainan utamanya. Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan,
“Bumi, air, dan kekayaan alam
Indonesia dikuasai oleh negara dan
dimanfaatkan sebesarbesarnya
untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.”
Di
undang-undang yang asli itu tidak
ada kata-kata dimilikioleh rakyat
Indonesia dan dikuasai dan
dikelola oleh negara, sehingga akibatnya,
istilah dikuasai itu sering bisa
dimanipulasi, bisa direkayasa,
akhirnya yang berkuasa beneran ya
swasta, terutama asing.
Mudah-mudahan nanti setelah
pemerintahan ini berakhir kita mengajukan
amandemen Pasal 33, sehingga
kata-katanya menjadi lengkap. “Bumi dan
air dan kekayaan alam Indonesia
dimiliki oleh rakyat Indonesia,
dikuasai dan dikelola oleh negara
untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk kesejahteraan rakyat
Indonesia”, supaya tidak ada
lagimultitafsirdan
rekayasainterpretasi.
Saya ingin memberikan contoh di
sini di tabel yang diajukan oleh
Pembela tentang “pemaknaan Pasal
33 UUD 1945 hanya menyangkut
pengaturan kebijakan,
pengelolaan, pengurusan, pengawasan, dikuasai
oleh negara. Tidak ada istilah
dimiliki karena yang paling penting
sebetulnya pemiliknya, walaupun
di dalam Undang- Undang Dasar 1945
kita sendiri dikatakan manfaatnya
digunakan sebesar-besarnya untuk
rakyat. Artinya siapa pemiliknya
itu? Ya rakyat, secara tidak
langsung, kalau tidak buat apa
digunakan sebesar-besarnya untuk
rakyat. Jadi di dalam Pasal 33
itu sudah implisit kata
dimilikiwalaupuntidak eksplisit,
sebetulnya itu milik rakyat.
Pada sidang yang terakhir, mantan
Dirjen Migas yang bertindak sebagai
saksi ahli Pemerintah, saya tidak
tahu apakah itu conflict interest
karena beliau waktu itu juga
terlibat dalam penyusunan Undang-Undang
Migas ini. Saksi Ahli tersebut
disini mengatakan “Pemerintah tidak
kasih apa-apa kok sama asing
karena semua pengaturan dikelola oleh
pemerintah, yang kita kasih itu
cuma economic right-nya saja”. Wah,
saya dengar itu kaget. ‘Economic
right” itu yang paling ada
nilainya,
kalau tidak ada economy right-nya
tidak ada nilainya itu barang.
Justru itu yang paling berharga
yang diserahkan sepenuhnya kepada
asing, dan menurut saya itu
interpretasi yang sangat berbahaya karena
harusnya itu dikuasai oleh
Pemerintah Indonesia. Contoh yang paling
sederhana di sektor mineral
banyak sekali dan juga berlaku di sektor
Migas. Banyak
perusahaan-perusahaan tambang besar dunia, salah satunya
BHP Billiton dari Australia
memiliki tambang batubara di Kalimanatan
Tengah yang kadar batubaranya
sangat tinggi (cooking coal) untuk
industri baja. Puluhan tahun
konsesi mereka tidak bikin apa-apa karena
dia punya bisnis di tempat yang
lain lebih menarik. Tetapi aset
tersebut di dalam bukunya
Billiton, itu masuk di dalam contingency
asset. Dengan itu mereka bisa
cari uang karena tambang itu kan sudah
ada valuasinya, tambang di situ
sudah dieksplorasi tapi tidak
dikerjakan. Sudah ada estimate
nilainya berapa, tinggal kalikan saja
berapa dollar per ton. Nah itu
dimasukkan ke dalam contingency asset,
bisa mencari pinjaman dan
kemudian hasil pinjamaan itu dipakai untuk
investasi bisnis di luar
Indonesia. Kasus-kasus seperti ini banyak
sekali terjadi di sektor Migas.
Kenapa? Karena pikiran seperti mantan
Dirjen Migas kemarin, “kita tidak
kasih apa-apa kok, kita kasih
economy rights”. Justru yang
paling berharga itu economy right-nya,
bukan soal aturan macam-macam.
Kemudian ada hal-hal yang cukup
penting di Pasal 3 Undang-Undang
Migas, penyelenggaraan harus
accountable yang diselenggarakan dengan
mekanisme persaingan usaha yang
wajar, dan sehat, dan transparan. Dan
saya setuju dengan Pembela dan
Pemohon, hal ini adalah cara dan
mekanisme, padahal yang paling
penting itu prinsip dan tujuan. Prinsip
dan tujuannya itu ada di Pasal 33
ayat (2), “Cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara.” Prinsip
dan tujuannya yang paling penting,
tetapi kok didalam undang-undang
itu mekanismenya malah yang lebih
diutamakan. Di sinilah virus dari
neoliberalisme itu masuk. Kok cara
itu kan cuma sebagian, bukan hal
yang terlalu penting.
Nah, kemudian menyangkut modus
kerja sama, Indonesia menganut selama
ini production sharing
arrangement. Sebetulnya PSA bukan satu-satunya
modus, ada kerja sama operasi,
ada kepemilikan langsung. Negara-negara
yang berhasil di sektor migas dan
cukup kuat dan besar terutama di
negara-negara Arab dan Latin
Amerika itu tidak memakai PSA, tetapi
memakai konsep kepemilikan
(ownership). Aramco dikuasai oleh
Pemerintah Saudi Arabia dalam
bentuk kepemilikan saham mayoritas, ada
asingnya minoritas. Nah apa
manfaatnya ? Menurut saya sistem pemilikan
mayoritas ini jauh lebih efektif
dibandingkan PSA karena satu, cost
control-nya bisa dilakukan secara
internal, wong wakil dari pemerintah
Saudi Arabia duduk di dalam
manajemen, ikut melakukan kontrol
manajemen, ikut melakukan control
cost, proses alih teknologi juga
lumayan bagus, dan sebagainya.
Jadi, banyak dari raksasa-raksasa atau
BUMN milik negara di
negara-negara berkembang yang besar itu
kebanyakan memiliki (ownership)
saham mayorita. Memang ada asingnya
sebagai pemilik minoritas. Jadi,
PSA bukan satu-satunya opsi yang
paling baik yang selama ini oleh
pejabat selalu dibanggakan sebagai
yang paling hebat, paling
dahsyat, dan sebagainya. Kenapa? Karena
sangat rawan terhadap mark up,
biaya-biaya, hampir semua biaya dan
saya juga dengar banyak biaya
entertainment untuk menyogok pejabat
Indonesia itu masuk recovery
cost. Pak Hakim, itu bukan dongeng dan
biaya lain-lain dibebankan kepada
cost recovery. Dan yang kedua yang
juga tadi Pak Hakim tunjukan
produksi anjlok kok dari 1.300.000 barrel
per hari menjadi hanya 850-an
barrel per hari, tapi cost recovery-nya
naik ya hampir dua kali dan saya
mohon maaf tidak pernah ada
penjelasan yang transparan dan
hitung-hitungannya. Kenapa hal itu
terjadi ? Saya dengarkan dengan
hati-hati, keterangan wakilpemerintah
yang ada itu tabel, grafik,
produksi, tapi penjelasan kenapa cost
recovery naik dua kali ?,
produksi anjlok, apa komponen biayanya,
bagaimana hitungannya tidak
pernah dijelaskan kepada rakyat Indonesia
secara terbuka.
Yang ketiga adalah budaya
birokratis, semua mau dikontrol, semua mau
diperiksa, tapi saya mohon maaf
kultur control di Indonesia dan
periksa ini itu juga sebagian
besar identik dengan pemerasan. Semakin
banyak kontrolnya, semakin banyak
diperiksanya, semakin banyak yang
harus diservis pejabatnya ya,
jangan diartikan kontrol oleh negara itu
hebat dan dahsyat karena cara
kontrolnya itu mohon maaf tidak canggih.
Sederhana kok, biaya menghasilkan
oil di mana (on-sharevs. off share).
Kedalaman berapa itu saja
dipegang ya, tidak usah sampai detail.
Sehingga tidak aneh pemerintah Indonesia
sejak 8 tahun terakhir telah
memberikan ratusan konsensi di
sektor minyak bumi dan gas, tapi
tingkat eksplorasi sangat rendah.
Penemuan cadangan baru nyaris tidak
ada, kenapa ? Saya tanya kepada
investor asing maupun pemain minyak
dalam negeri, birokrasinya ruwet,
ribet, itu dimuat di salah satu
majalah oil and gas
internasional, bahwa iklim investasi migas di
Indonesia itu sangat ribet karena
terlalu banyak kontrol, terlalu
banyak macam-macam. Tapi tidak
control terhadap cost, itu
kadang-kadang banyak kontrol BP
migas supaya nanti temannya bisa masuk
sebagai pemasok atau apa,
gitu-gitu aja tidak lebih dan tidak kurang.
Jadi, menurut hemat saya budaya
birokratis dalam kaitannya dengan BP
Migas menurut saya tidak
penting-penting amat. Saya mohon maaf, pada
dasarnya fungsi BP migas itu bisa
diambil alih oleh Dirjen Migas, oleh
ESDM. Perbedaannya biaya BP migas
sangat besar dibandingkan biaya
Dirjen Migas karena dianggap
profesional pegawainya harus biaya mahal
sama kayak BPPN dulu dibikin.
Kalau boleh sejarah diulang kembali
walaupun bukan saya yang bikin
BPPN, saya tidak akan bentuk BPPN. BPPN
gajinya, gaji internasional,
stafnya kebanyakan titipan dari bank-bank
yang bermasalah. Sehingga
recovery rate BPPN di Indonesia itu cuma
20%, di negara lain 40%,
data-data banyak yang hilang. Kalau
diserahkan kepada Bank untuk
melakukan restrukturisasi, cost-nya lebih
murah. Saya juga percaya kalau
Dirjen Migas diberikan kewenangan lebih
besar seperti halnya BP Migas
bisa lebih efisiendan murah. Apa
buktinya ya kan, biayanya
kemahalan. Kemarin Bp Migas baru ulang
tahun, ulang tahun saja di
Ritz-Carlton. Saya sedih lihatnya, tidak
ada prihatinnya, padahal
kantornya sudah bagus kenapa tidak ulang
tahun di kantor?, kenapa mesti di
Ritz-Carlton? Ini contoh, kalau kita
lakukan audit terhadap biaya BP
Migas itu mahal, dampak dan manfaatnya
kecil, kecuali jika BP Migas
berhasil menekan cost recovery, berhasil
meningkatkan produksi, okelah.
Jadi menurut saya tidak penting-penting
amat BP Migas. Lebih bagus fungsi
regulasi Migas kita kembalikan
kepada Dirjen Migas.
Kemudian ada Pasal 10 di
Undang-Undang Migas, “Badan usaha atau
bentuk usaha tetap yang melakukan
usaha hulu dilarang melakukan
kegiatan usaha hilir.”
KETUA: MOH. MAHFUD MD
Saudara Ahli supaya dipercepat
ya.
AHLI DARI PEMOHON: RIZAL RAMLI
Iya Pak Ketua, akan saya
percepat.
Pasal itu bagus supaya tidak ada
monopoli vertikal. Tapi dalam
praktiknya, Shell atau BP tinggal
bikin PT di hilir, tetapi tetap di
hulu, migas. Jadi, kalimat-kalimat
di pasal itu, multiinterpretasi,
sangat sumir. Dalam praktiknya,
tetap terjadi integrasi vertikal.
Kemudian pasal ayat (22) Migas
tentang DPR. DPR hanya diberitahu,
tidak dimintai persetujuannya.
Yang kemudian yang juga penting pasal
tentang arbitrase internasional.
Di situ dikatakan kalau ada
pertikaian, diserahkan kepada
arbitrase internasional. Prof. Joseph
Stiglitz, pemenang Nobel,
melakukan studi, ternyata 99% dari hasil
arbitrase internasional sangat
merugikan negara berkembang dan selalu
menguntungkan negara-negara maju.
Oleh karena itu, pada tahun 2007,
Stiglitz datang keJakarta, ketemu
Presiden SBY, meminta agar arbitrase
internasional ini dihapuskan dari
rencana Undang-Undang Investasi. SBY
seperti biasa, “Iya, bagus,”
manggut-manggut, tapi tetap saja ada
itu pasal arbitrase
internasionalnya. Stiglitz ketemu saya,
kecewa betul, “ternyata Presiden
kamu bilang, ‘Iya, iya,’” ya kan?
Kejadian terus itu berulang.
Kesimpulannya, Bapak Hakim Yang
Terhormat, kami minta Undang-Undang
Migas yang disponsori, dibiayai
oleh USAID dengan membawa kepentingan
strategis mereka bertentangan
dengan semangat Undang-Undang Dasar
1945, sebaiknya dibatalkan.
Banyak terjadi manipulasi dari kata
dikuasai negara, sehingga
menjadimultitafsir, sehingga pada praktiknya
menjadi swastanisasi dan
asingnisasi besar-besaran. Untuk itu kami
minta dengan hormat kepada Ketua
dan Anggota dari Majelis Hakim untuk
menyatakan Undang-Undang Migas
ini bertentangan dengan Undang- Undang
Dasar 1945 dan menetapkan
peraturan peralihan. Memang bakal ramai,
tapi tidak apa-apa kok, ramai
sebentar, ya. Masih lebih mending
daripada di negara lain,
dinasionalisasi. Di Venezuela dan banyak
Negara Latin Amerika, sector
migas di nasionalisasi. Kita tata ulang
lagi undang-undang Migas agar
supaya betul-betul bekerja sesuai dengan
semangat Undang-Undang Dasar
1945. Terima kasih.***